Dokumentasi: Halaqah Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah, Raja segala
raja, Pemilik seluruh alam, tempat kita bergantung dalam suka dan duka.
Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, utusan yang menunjukkan
bagaimana hidup sebagai hamba yang tunduk sepenuhnya kepada Sang Raja Semesta.
وَلِلَّهِ
مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌ
(QS. Ali ‘Imran: 189)
"Dan hanya milik Allah-lah kerajaan
langit dan bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
QS Ali ‘Imran: 189 bukan hanya kalimat
pengakuan iman. Ini adalah tamparan lembut untuk siapa pun yang merasa
memiliki, merasa berkuasa, merasa paling mengatur hidupnya sendiri.
“Dan hanya milik Allah-lah kerajaan
langit dan bumi…”
Kalimat ini seharusnya membuat kita
menunduk dalam-dalam.
Kita sering lupa, bahwa rumah yang kita
bangun, harta yang kita simpan, jabatan yang kita pegang, bahkan tubuh yang
kita kenakan hari-hari ini semua itu bukan milik kita.
Kita hanya penumpang, pengelola
sementara, tamu yang akan dipanggil pulang.
Kisah Umar bin Abdul Aziz suatu hari
menangis di atas sajadahnya. Ketika ditanya mengapa ia menangis, padahal baru
saja diangkat sebagai khalifah, ia menjawab:
“Bagaimana mungkin aku tenang, jika aku
tahu semua kekuasaan ini bukan milikku, dan akan dimintai pertanggungjawaban
oleh Pemiliknya yang sebenarnya, Allah?”
Ia sadar, meskipun di mata manusia ia
adalah raja, di hadapan Allah ia hanyalah hamba yang memikul amanah, bukan
kemewahan.
Refleksi diri dari kisah ini mengapa
kita sering lupa? Karena dunia ini membius.
Kita merasa kita yang mengatur waktu.
Kita merasa kita yang mengatur rezeki.
Kita merasa kita yang mengatur jalan
hidup.
Padahal semua ada dalam genggaman Allah.
Anak-anak kita? Amanah dari-Nya.
Ilmu kita? Cahaya dari-Nya.
Bisnis kita? Titipan yang bisa hilang
dalam sekejap.
Waktu hidup kita? Tidak satu detik pun bisa
kita tambah sendiri.
Maka ayat ini hadir untuk menenangkan
yang gelisah, dan mengguncang yang sombong.
Tenanglah, karena semua diatur oleh
Allah yang Maha Kuasa.
Waspadalah, karena semua akan kembali
kepada Allah yang Maha Menuntut Amanah.
Kisah Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Aku melihat dunia seperti bayangan.
Semakin kau kejar, ia menjauh. Tapi ketika kau menjauhinya, ia justru
mengikuti.”
Lalu ia menutup nasihatnya dengan
kalimat:
“Tidak ada milik sejati kecuali milik
Allah. Maka jangan terlalu cinta pada sesuatu yang pasti akan direbut kembali
oleh Pemiliknya.”
Kisah Nabi Sulaiman AS adalah seorang
nabi yang diberikan kekuasaan luar biasa oleh Allah:
Kerajaan besar, kemampuan berbicara
dengan binatang, angin yang tunduk padanya, jin yang bekerja atas perintahnya.
Namun, dalam setiap kemuliaan itu,
beliau tidak pernah merasa memilikinya. Dalam doanya yang masyhur, beliau
berkata:
"Ya Tuhanku, ampunilah aku dan
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun
sesudahku; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pemberi."
(QS. Shaad: 35)
Mengapa beliau meminta kerajaan yang
unik? Bukan karena sombong, tapi karena beliau tahu kerajaan itu hanya bisa
ditopang dengan izin dan pertolongan Allah.
Dan benar, Nabi Sulaiman tidak terikat
oleh dunianya. Ia wafat dalam keadaan berdiri, bersandar pada tongkat, dan
tidak ada satu makhluk pun yang tahu beliau sudah meninggal karena Allah
menundukkan segalanya bahkan dalam wafatnya. Jadi kekuasaan Nabi Sulaiman tidak
membuatnya lupa bahwa *semua yang ada padanya hanyalah titipan dari Allah yang
bisa diambil kapan saja.
Kisah Rabi’ bin Khutsaim adalah seorang
tabi’ut tabi’in yang dikenal sangat zuhud dan takut kepada Allah. Ia hidup di
tengah kemewahan negeri Kufah, namun ia memilih hidup sederhana. Suatu hari
seorang bangsawan datang dan berkata:
“Wahai Rabi’, engkau bisa hidup lebih
baik dengan ilmumu. Mengapa engkau tidak memanfaatkan peluang untuk menjadi
pemimpin atau hakim?” Rabi’ menjawab lembut:
“Apa gunanya menjadi pemimpin jika aku
tidak bisa memimpin hatiku sendiri? Dunia ini bukan milikku. Ia milik Allah,
dan aku hanya menumpang sebentar saja.” Dalam kesehariannya, Rabi’ bahkan
sering menangis hanya dengan membaca ayat-ayat yang mengingatkan kekuasaan
Allah. Ia takut tertipu oleh rasa “memiliki” sesuatu yang pada hakikatnya
adalah milik Allah. Jadi Rabi’ mengajarkan kepada kita bahwa orang
yang merasa cukup dengan Allah tidak akan tergoda mengejar dunia. Ia tahu,
kekuasaan bukan kemuliaan, kecuali jika dijalani sebagai amanah.
Introspeksi diri:
Jika semua milik Allah, maka tak ada
alasan untuk sombong.
Jika semua di tangan Allah, maka tak ada
alasan untuk putus asa.
Ajarkan anak-anak kita untuk tidak
berkata, “Ini punyaku,” tanpa menyebut, “In syaa Allah.”
Ajarkan diri kita untuk tidak merasa
berhak atas apa pun, tanpa izin-Nya.
Dan saat musibah datang, ketika
kehilangan, ketika sesuatu yang kita jaga diambil ingatlah ayat ini:
“Dan hanya milik Allah-lah kerajaan
langit dan bumi…”
“Ya Allah, ajari kami untuk menjadi
hamba, bukan penguasa.
Jangan biarkan kami lupa bahwa semua
milik-Mu, bukan milik kami.
Jadikan kami ridha terhadap takdir-Mu,
tenang dalam kehilangan, dan bersyukur dalam kelebihan.
Ya Allah, jika kami memiliki sesuatu,
maka ajari kami untuk menjaganya dalam ketaatan.
Dan jika Kau ambil sesuatu, maka kuatkan
kami dengan keyakinan bahwa Engkaulah pemilik sejatinya.”
Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang
sadar bahwa Engkaulah Pemilik semua. Jangan biarkan kami terikat oleh dunia
yang bukan milik kami. Karuniakanlah hati yang tenang dalam kehilangan, dan
rendah hati dalam kelebihan. Aamiin.
Mari dalami sekali lagi bahwa QS Ali
‘Imran: 189 adalah pengingat yang mendalam, kepemilikan hanyalah ilusi, dan
penguasa sejati hanya satu: Allah.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.







0 komentar:
Posting Komentar