Senin, 14 Juli 2025

Kebahagian Hakiki


Beriman dan Berbuat Baik Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki, Mari Kuatkan Iman dan Selalu Berbuat Baik

Kebahagian Hakiki

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Dokumentasi: Halaqah Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi

Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan iman ke dalam hati hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, teladan sempurna dalam keimanan dan amal saleh.

 "ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَـَٔابٍ"

(QS. Ar-Ra’d: 29)

 "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, berbahagialah mereka dan tempat kembali yang terbaik."

Dalam dunia yang terus berlari cepat, di mana standar kebahagiaan ditentukan oleh algoritma media sosial, QS Ar-Ra’d: 29 datang sebagai pengingat bahwa kebahagiaan hakiki tidak terletak pada pencapaian duniawi, melainkan pada iman dan amal saleh.

Ayat ini sangat sederhana secara redaksi, namun dalam secara makna. Allah tidak menyebut jenis amal tertentu, tidak membatasi bentuknya, tetapi mensyaratkan dua hal: iman dan amal saleh. Inilah pasangan abadi yang tak terpisahkan. Iman tanpa amal adalah janji tanpa bukti. Amal tanpa iman adalah kerja tanpa arah.

"طُوبَىٰ لَهُمْ" — Mereka akan mendapatkan kebahagiaan, kata Allah. Dalam tafsir Ibn Katsir, kata ṭūbā mencakup makna kegembiraan batin, keberkahan hidup, dan ketenangan jiwa. Tafsir Al-Qurthubi menyebutkan bahwa ṭūbā bisa bermakna pohon surga, bisa juga bermakna semua jenis keberuntungan. Artinya, kebahagiaan itu bukan sekadar senyuman yang tampak di wajah, tapi kedamaian yang tenang di dada.

Saat ini kita hidup dalam era kecemasan kolektif. Banyak orang sukses, tetapi gelisah. Banyak yang memiliki segalanya, tetapi merasa kosong. Karena lupa bahwa kebahagiaan bukan pada apa yang kita punya, tetapi pada siapa yang kita imani, dan bagaimana kita hidup.

QS Ar-Ra’d: 29 bukan sekadar janji tentang surga kelak, tapi juga solusi hidup hari ini. Mereka yang menghidupkan imannya dengan amal saleh akan diberi ḥusnu ma’āb  tempat kembali yang baik. Di dunia, ini berarti hidup yang penuh keberkahan. Di akhirat, ini berarti surga yang Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang tulus.

 

Kisah

Abu Darda RA adalah seorang sahabat Nabi yang awalnya seorang saudagar sukses di Madinah. Namun setelah masuk Islam dan mengenal Nabi secara dekat, ia tinggalkan urusan dunia dan memilih jalan ilmu serta amal saleh. Ia pernah berkata:

"Aku lebih suka memiliki ilmu yang bermanfaat daripada emas dan perak yang melimpah."

(Al-Hilyah: 1/215)

Ia dikenal sebagai sosok yang selalu mencari ketenangan melalui ibadah, tadabbur Al-Qur’an, dan menasihati kaum muslimin. Rumahnya kecil, pakaiannya sederhana, tapi hatinya luas. Ketika ada yang bertanya kenapa ia hidup dalam kesederhanaan, ia menjawab,

"Karena dunia ini hanya titipan yang akan berlalu, tapi amal saleh akan menetap bersama kita selamanya."

Abu Darda menunjukkan bahwa ṭūbā tidak selalu berarti kemewahan atau posisi. Ia hidup damai, disukai banyak sahabat, dan wafat dalam keadaan husnul khatimah. Ia adalah contoh bahwa iman yang konsisten dan amal yang ikhlas cukup menjamin tempat kembali yang terbaik.

 

Kisah

Sa’id bin Al-Musayyib adalah ulama besar dari kalangan tabi’in, dan dianggap sebagai pemimpin generasi Madinah pasca-wafatnya para sahabat. Salah satu kisah luar biasa dari hidupnya adalah bahwa ia selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram dalam salat berjamaah di masjid. Bukan hanya hadir, tapi takbir awal bersama imam. (Al-Dhahabi, Siyar A’lām al-Nubalā’, 4/221)

Ia berkata,

"Aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih menentramkan hati dan lebih membuatku bersyukur kepada Allah daripada istiqamah dalam salat berjamaah."

Meskipun ia hidup di zaman politik yang tidak stabil, dan godaan dunia mulai merebak, ia tetap berpegang teguh pada iman dan amal. Tidak pernah mencela orang lain, dan selalu bersikap lembut terhadap murid-muridnya. Dalam setiap waktu, ia menanam amal saleh kecil tapi konsisten — dan dari situlah ia menemukan kebahagiaan.

Sa’id bin Al-Musayyib adalah teladan QS Ar-Ra’d: 29 — bahwa kebahagiaan dan tempat kembali terbaik tidak ditentukan oleh kekuasaan atau popularitas, melainkan oleh kedekatan terus-menerus dengan Allah dalam setiap detik kehidupan.


 Kisah

Hasan Al-Bashri lahir di zaman sahabat dan tumbuh besar dalam asuhan para istri Nabi. Ia menyaksikan langsung perubahan masyarakat Islam dari kesalehan menjadi duniawi. Maka ia tampil sebagai suar spiritual di tengah gelapnya dunia politik. Dikenal karena ucapannya yang menggugah dan ibadahnya yang dalam. Ia berkata:

"Sesungguhnya ada kaum yang lebih menikmati tahajud di malam hari daripada orang yang menikmati dunia dengan segala isinya di siang hari."

Setiap hari ia menangis bukan karena kekurangan dunia, tapi karena takut amalnya tidak diterima. Pernah suatu ketika ia ditanya,

"Apa rahasia hidup tenang dan wajah yang selalu bersinar, wahai Abu Sa’id?"

Ia menjawab,

"Karena aku menyembunyikan amal baikku seperti kalian menyembunyikan dosa-dosa kalian."

Kisah Hasan Al-Bashri menggambarkan ṭūbā dalam bentuk ketenangan batin, kesungguhan dalam ibadah, dan konsistensi dalam memberi nasihat kepada umat. Ia tidak pernah mencari nama, tetapi nama baiknya dikenang ribuan tahun setelah wafat.

Inilah ḥusnu ma’āb  tempat kembali yang penuh berkah, hasil dari iman yang dalam dan amal yang lurus.

 Di zaman Artificial Intelligence, blockchain, dan teknologi quantum, tantangan terbesar umat bukanlah ketertinggalan informasi, tapi kehilangan arah spiritual. QS Ar-Ra’d: 29 memanggil kita untuk kembali kepada kesadaran bahwa hidup ini bukan soal kecepatan, tapi tentang ketepatan.

  Maka, jangan bangga hanya karena viral. Jangan tenang hanya karena gaji besar. Jangan merasa cukup hanya karena followers banyak. Tanya dirimu: Apakah iman kita tumbuh? Apakah amal kita bertambah? Apakah kita telah berada di jalan ṭūbā?

 Ya Allah, jadikanlah iman kami cahaya di hati dan amal kami jalan menuju ridha-Mu. Tumbuhkan dalam dada kami cinta kepada amal saleh, dan jauhkan dari tipu daya dunia yang menyesatkan. Karuniakan kami kebahagiaan yang bersumber dari-Mu, bukan dari dunia semata.

 Mari kita bagikan ayat ini sebagai pengingat bahwa bahagia itu bukan ketika orang lain kagum, tapi ketika Allah ridha. Karena ṭūbā dan ḥusnu ma’āb hanya untuk mereka yang menjaga iman dan tidak lelah berbuat baik.

 

Wallāhu A‘lam.


0 komentar:

Posting Komentar

PARMIN SUKING