Rabu, 09 Juli 2025

Allah Menyanyangi Bagaimanapun Keadaan Kita Bahkan Mengasihi Tanpa Sekat Tapi Kenapa Kita Sering Lupa Menyayangi Diri Sendiri

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Allah Menyanyangi Bagaimanapun Keadaan Kita Bahkan Mengasihi Tanpa Sekat Tapi Kenapa Kita Sering Lupa Menyayangi Diri Sendiri


Halaqah: Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi
Segala puji hanya bagi Allah, yang kasih sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya, dan yang pintu tobat-Nya selalu terbuka meski dunia makin larut dalam hiruk-pikuk dan ilusi layar digital. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad ﷺ, teladan terbaik dalam kembali kepada Allah di tengah tantangan zaman.


 "وَٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۦٓ ۚ إِنَّ رَبِّى رَحِيمٌۭ وَدُودٌۭ"

(QS. Hûd: 90)

 "Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih."

Ayat ini datang di tengah-tengah peringatan besar tentang umat-umat terdahulu yang binasa karena kesombongan dan kefasikan. Namun, QS Hûd: 90 tidak hanya berbicara tentang azab, tetapi justru menawarkan harapan: sebuah undangan tulus dari Allah untuk kembali, memohon ampun, dan bertobat, karena Dia adalah Rahîm (Penyayang) dan Wadûd (Penuh Cinta).

Dalam konteks Revolusi Industri 4.0, ketika kita hidup dalam arus informasi yang deras, teknologi yang serba cepat, dan keinginan yang tiada henti, ayat ini menjadi rem kehidupan. Kita sering kali merasa lebih terhubung dengan dunia maya ketimbang dengan Tuhan kita. Kita cepat menanggapi notifikasi ponsel, tetapi lalai menanggapi seruan Allah dalam hati kita. Maka, "Istighfar dan taubat" bukan sekadar ritual lisan, melainkan kesadaran untuk mengembalikan arah hidup dari yang serba ‘otomatis’ menjadi lebih bermakna.

Istighfar bukan hanya dimaknai sebagai meminta ampun atas dosa besar, tetapi juga sebagai kesadaran harian atas waktu yang tersia-siakan, pikiran yang tidak jernih, bahkan perhatian yang telah terlalu banyak tersedot ke layar, bukan kepada keluarga, ilmu, atau ibadah. Di sinilah pentingnya detoks digital ruhani: kembali menyadari bahwa Allah lebih tahu isi hati kita daripada algoritma apa pun yang kita konsumsi.

Ayat ini menunjukkan dua jalan beriringan: istighfar dan taubat. Istighfar membersihkan, taubat mengubah arah. Tanpa keduanya, manusia akan terus terjebak dalam siklus kesalahan, bahkan dengan dukungan teknologi tercanggih sekalipun. Maka, meskipun kita hidup di era kecerdasan buatan dan AI, jangan pernah lupakan bahwa hanya dengan kesadaran spiritual, hidup kita mendapatkan makna yang sejati.

 

Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Revolusi Diri

Di tengah kekuasaan dan teknologi administrasi pemerintahan yang semakin maju kala itu, Umar bin Abdul Aziz RA dikenal bukan karena sistemnya, tetapi karena taubatnya. Ia pernah menangis semalam suntuk ketika menyadari kekuasaan adalah amanah, bukan kehormatan. Ia menghapus praktik istana yang mewah dan mengembalikannya pada kesederhanaan karena sadar bahwa ampunan Allah lebih bernilai daripada pujian manusia.

 

Kisah Hasan Al-Bashri dan Kepekaan Hati

Hasan Al-Bashri, dari kalangan Tabi’in, dikenal karena ketajaman ruhiyahnya. Suatu hari beliau ditanya, “Mengapa kami telah banyak beristighfar tapi hidup kami tetap sempit?” Ia menjawab, “Karena istighfarnya hanya di lisan, bukan dari hati.” Di era kita, bisa jadi kita telah banyak mengklik konten keislaman, tapi sedikit menginternalisasi makna taubat.

 

Kisah Imam Syafi’i dan Cinta Ilmu yang Bersih dari Dosa

Imam Syafi’i berkata, “Ilmu tidak akan masuk ke hati yang kotor.” Ia menjaga dirinya dari dosa kecil karena ia tahu bahwa dosa kecil bisa menutupi cahaya ilmu. Dalam dunia pembelajaran digital hari ini, seringkali kita mengumpulkan materi tapi kehilangan hikmah karena hati kita lelah dan lalai. Maka kunci keberkahan belajar bukan hanya pada koneksi internet, tapi pada koneksi hati dengan Allah.

 

Kisah Rabi’ah Al-Adawiyah dan Cinta yang Membersihkan Diri

Rabi’ah dikenal dengan cintanya kepada Allah yang tidak berbatas. Ia berkata, “Aku beristighfar bukan karena takut neraka, tapi karena malu kepada-Nya atas kelalaianku mencintai-Nya.” Di zaman ini, mungkin kita perlu kembali bertanya: apakah taubat kita muncul karena takut hukuman, atau karena rindu kepada kasih sayang-Nya?

 

Refleksi untuk Keluarga dan Generasi Digital

Mari kita merenung bersama:

Apakah kita sudah benar-benar bertobat atau sekadar menunda-nunda karena kesibukan digital?

Apakah kita masih punya waktu hening untuk memohon ampun atau malah sibuk membuat konten tanpa makna?

Apakah kita masih percaya bahwa Allah itu Wadûd, atau sudah mulai merasa lebih terhubung dengan follower dan trending topic?

 

Di tengah kemajuan teknologi, kecerdasan spiritual adalah satu-satunya jalan untuk bertahan dari kehilangan arah. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah masih memberi kita ruang—taubat bukan tanda kekalahan, tetapi kebangkitan. Karena sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang dan Maha Pengasih.

 

Doa Penutup

Ya Allah, tuntunlah kami dalam derasnya arus dunia maya. Jadikan kami pribadi yang senantiasa bertaubat sebelum terlambat. Ampuni kesalahan kami dalam pikiran, tindakan, dan waktu yang kami lalaikan. Jadikan kami keluarga yang kembali kepada-Mu bukan karena terpaksa, tetapi karena cinta. Jangan biarkan kami terseret teknologi tapi lupa pada ilham dan petunjuk-Mu. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

 

Jika pesan ini mengetuk hati kita, sebarkanlah bukan sekadar dalam bentuk pesan berantai, tapi dalam praktik nyata dengan istighfar harian, taubat mingguan, dan niat bulanan untuk terus tumbuh menjadi hamba yang dicintai-Nya.

 

Wallāhu A‘lam.

0 komentar:

Posting Komentar

PARMIN SUKING