بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Allah
Menyanyangi Bagaimanapun Keadaan Kita Bahkan Mengasihi Tanpa Sekat Tapi Kenapa
Kita Sering Lupa Menyayangi Diri Sendiri
![]() |
| Halaqah: Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi |
(QS. Hûd: 90)
Ayat ini datang
di tengah-tengah peringatan besar tentang umat-umat terdahulu yang binasa
karena kesombongan dan kefasikan. Namun, QS Hûd: 90 tidak hanya berbicara
tentang azab, tetapi justru menawarkan harapan: sebuah undangan tulus dari
Allah untuk kembali, memohon ampun, dan bertobat, karena Dia adalah Rahîm
(Penyayang) dan Wadûd (Penuh Cinta).
Dalam konteks
Revolusi Industri 4.0, ketika kita hidup dalam arus informasi yang deras,
teknologi yang serba cepat, dan keinginan yang tiada henti, ayat ini menjadi
rem kehidupan. Kita sering kali merasa lebih terhubung dengan dunia maya
ketimbang dengan Tuhan kita. Kita cepat menanggapi notifikasi ponsel, tetapi
lalai menanggapi seruan Allah dalam hati kita. Maka, "Istighfar dan
taubat" bukan sekadar ritual lisan, melainkan kesadaran untuk
mengembalikan arah hidup dari yang serba ‘otomatis’ menjadi lebih bermakna.
Istighfar bukan
hanya dimaknai sebagai meminta ampun atas dosa besar, tetapi juga sebagai
kesadaran harian atas waktu yang tersia-siakan, pikiran yang tidak jernih,
bahkan perhatian yang telah terlalu banyak tersedot ke layar, bukan kepada
keluarga, ilmu, atau ibadah. Di sinilah pentingnya detoks digital ruhani:
kembali menyadari bahwa Allah lebih tahu isi hati kita daripada algoritma apa
pun yang kita konsumsi.
Ayat ini
menunjukkan dua jalan beriringan: istighfar dan taubat. Istighfar membersihkan,
taubat mengubah arah. Tanpa keduanya, manusia akan terus terjebak dalam siklus
kesalahan, bahkan dengan dukungan teknologi tercanggih sekalipun. Maka,
meskipun kita hidup di era kecerdasan buatan dan AI, jangan pernah lupakan
bahwa hanya dengan kesadaran spiritual, hidup kita mendapatkan makna yang
sejati.
Kisah Umar bin
Abdul Aziz dan Revolusi Diri
Di tengah
kekuasaan dan teknologi administrasi pemerintahan yang semakin maju kala itu,
Umar bin Abdul Aziz RA dikenal bukan karena sistemnya, tetapi karena taubatnya.
Ia pernah menangis semalam suntuk ketika menyadari kekuasaan adalah amanah,
bukan kehormatan. Ia menghapus praktik istana yang mewah dan mengembalikannya
pada kesederhanaan karena sadar bahwa ampunan Allah lebih bernilai daripada
pujian manusia.
Kisah Hasan
Al-Bashri dan Kepekaan Hati
Hasan Al-Bashri,
dari kalangan Tabi’in, dikenal karena ketajaman ruhiyahnya. Suatu hari beliau
ditanya, “Mengapa kami telah banyak beristighfar tapi hidup kami tetap sempit?”
Ia menjawab, “Karena istighfarnya hanya di lisan, bukan dari hati.” Di era kita,
bisa jadi kita telah banyak mengklik konten keislaman, tapi sedikit
menginternalisasi makna taubat.
Kisah Imam
Syafi’i dan Cinta Ilmu yang Bersih dari Dosa
Imam Syafi’i
berkata, “Ilmu tidak akan masuk ke hati yang kotor.” Ia menjaga dirinya dari
dosa kecil karena ia tahu bahwa dosa kecil bisa menutupi cahaya ilmu. Dalam
dunia pembelajaran digital hari ini, seringkali kita mengumpulkan materi tapi
kehilangan hikmah karena hati kita lelah dan lalai. Maka kunci keberkahan
belajar bukan hanya pada koneksi internet, tapi pada koneksi hati dengan Allah.
Kisah Rabi’ah
Al-Adawiyah dan Cinta yang Membersihkan Diri
Rabi’ah dikenal
dengan cintanya kepada Allah yang tidak berbatas. Ia berkata, “Aku beristighfar
bukan karena takut neraka, tapi karena malu kepada-Nya atas kelalaianku
mencintai-Nya.” Di zaman ini, mungkin kita perlu kembali bertanya: apakah
taubat kita muncul karena takut hukuman, atau karena rindu kepada kasih
sayang-Nya?
Refleksi untuk
Keluarga dan Generasi Digital
Mari kita
merenung bersama:
Apakah kita
sudah benar-benar bertobat atau sekadar menunda-nunda karena kesibukan digital?
Apakah kita
masih punya waktu hening untuk memohon ampun atau malah sibuk membuat konten
tanpa makna?
Apakah kita
masih percaya bahwa Allah itu Wadûd, atau sudah mulai merasa lebih terhubung
dengan follower dan trending topic?
Di tengah
kemajuan teknologi, kecerdasan spiritual adalah satu-satunya jalan untuk
bertahan dari kehilangan arah. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah masih
memberi kita ruang—taubat bukan tanda kekalahan, tetapi kebangkitan. Karena
sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang dan Maha Pengasih.
Doa Penutup
Ya Allah,
tuntunlah kami dalam derasnya arus dunia maya. Jadikan kami pribadi yang
senantiasa bertaubat sebelum terlambat. Ampuni kesalahan kami dalam pikiran,
tindakan, dan waktu yang kami lalaikan. Jadikan kami keluarga yang kembali
kepada-Mu bukan karena terpaksa, tetapi karena cinta. Jangan biarkan kami
terseret teknologi tapi lupa pada ilham dan petunjuk-Mu. Aamiin ya Rabbal
‘alamin.
Jika pesan ini
mengetuk hati kita, sebarkanlah bukan sekadar dalam bentuk pesan berantai, tapi
dalam praktik nyata dengan istighfar harian, taubat mingguan, dan niat bulanan
untuk terus tumbuh menjadi hamba yang dicintai-Nya.
Wallāhu A‘lam.







0 komentar:
Posting Komentar