Kebahagian Hakiki
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
![]() |
| Dokumentasi: Halaqah Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi |
"ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَـَٔابٍ"
(QS.
Ar-Ra’d: 29)
"Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, berbahagialah mereka dan tempat kembali yang terbaik."
Dalam
dunia yang terus berlari cepat, di mana standar kebahagiaan ditentukan oleh
algoritma media sosial, QS Ar-Ra’d: 29 datang sebagai pengingat bahwa
kebahagiaan hakiki tidak terletak pada pencapaian duniawi, melainkan pada iman
dan amal saleh.
Ayat ini sangat sederhana secara redaksi, namun dalam secara makna. Allah tidak menyebut jenis amal tertentu, tidak membatasi bentuknya, tetapi mensyaratkan dua hal: iman dan amal saleh. Inilah pasangan abadi yang tak terpisahkan. Iman tanpa amal adalah janji tanpa bukti. Amal tanpa iman adalah kerja tanpa arah.
"طُوبَىٰ لَهُمْ" — Mereka akan mendapatkan kebahagiaan, kata Allah. Dalam tafsir Ibn Katsir, kata ṭūbā mencakup makna kegembiraan batin, keberkahan hidup, dan ketenangan jiwa. Tafsir Al-Qurthubi menyebutkan bahwa ṭūbā bisa bermakna pohon surga, bisa juga bermakna semua jenis keberuntungan. Artinya, kebahagiaan itu bukan sekadar senyuman yang tampak di wajah, tapi kedamaian yang tenang di dada.
Saat ini kita hidup dalam era kecemasan kolektif. Banyak orang sukses, tetapi gelisah. Banyak yang memiliki segalanya, tetapi merasa kosong. Karena lupa bahwa kebahagiaan bukan pada apa yang kita punya, tetapi pada siapa yang kita imani, dan bagaimana kita hidup.
QS Ar-Ra’d: 29 bukan sekadar janji tentang surga kelak, tapi juga solusi hidup hari ini. Mereka yang menghidupkan imannya dengan amal saleh akan diberi ḥusnu ma’āb tempat kembali yang baik. Di dunia, ini berarti hidup yang penuh keberkahan. Di akhirat, ini berarti surga yang Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang tulus.
Kisah
Abu
Darda RA adalah seorang sahabat Nabi yang awalnya seorang saudagar sukses di
Madinah. Namun setelah masuk Islam dan mengenal Nabi secara dekat, ia
tinggalkan urusan dunia dan memilih jalan ilmu serta amal saleh. Ia pernah
berkata:
"Aku
lebih suka memiliki ilmu yang bermanfaat daripada emas dan perak yang
melimpah."
(Al-Hilyah:
1/215)
Ia
dikenal sebagai sosok yang selalu mencari ketenangan melalui ibadah, tadabbur
Al-Qur’an, dan menasihati kaum muslimin. Rumahnya kecil, pakaiannya sederhana,
tapi hatinya luas. Ketika ada yang bertanya kenapa ia hidup dalam
kesederhanaan, ia menjawab,
"Karena
dunia ini hanya titipan yang akan berlalu, tapi amal saleh akan menetap bersama
kita selamanya."
Abu
Darda menunjukkan bahwa ṭūbā tidak selalu berarti kemewahan atau posisi. Ia
hidup damai, disukai banyak sahabat, dan wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Ia adalah contoh bahwa iman yang konsisten dan amal yang ikhlas cukup menjamin
tempat kembali yang terbaik.
Kisah
Sa’id
bin Al-Musayyib adalah ulama besar dari kalangan tabi’in, dan dianggap sebagai
pemimpin generasi Madinah pasca-wafatnya para sahabat. Salah satu kisah luar
biasa dari hidupnya adalah bahwa ia selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan
takbiratul ihram dalam salat berjamaah di masjid. Bukan hanya hadir, tapi
takbir awal bersama imam. (Al-Dhahabi, Siyar A’lām al-Nubalā’, 4/221)
Ia
berkata,
"Aku
tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih menentramkan hati dan lebih
membuatku bersyukur kepada Allah daripada istiqamah dalam salat
berjamaah."
Meskipun
ia hidup di zaman politik yang tidak stabil, dan godaan dunia mulai merebak, ia
tetap berpegang teguh pada iman dan amal. Tidak pernah mencela orang lain, dan
selalu bersikap lembut terhadap murid-muridnya. Dalam setiap waktu, ia menanam
amal saleh kecil tapi konsisten — dan dari situlah ia menemukan kebahagiaan.
Sa’id
bin Al-Musayyib adalah teladan QS Ar-Ra’d: 29 — bahwa kebahagiaan dan tempat
kembali terbaik tidak ditentukan oleh kekuasaan atau popularitas, melainkan
oleh kedekatan terus-menerus dengan Allah dalam setiap detik kehidupan.
Kisah
Hasan
Al-Bashri lahir di zaman sahabat dan tumbuh besar dalam asuhan para istri Nabi.
Ia menyaksikan langsung perubahan masyarakat Islam dari kesalehan menjadi
duniawi. Maka ia tampil sebagai suar spiritual di tengah gelapnya dunia
politik. Dikenal karena ucapannya yang menggugah dan ibadahnya yang dalam. Ia
berkata:
"Sesungguhnya
ada kaum yang lebih menikmati tahajud di malam hari daripada orang yang
menikmati dunia dengan segala isinya di siang hari."
Setiap
hari ia menangis bukan karena kekurangan dunia, tapi karena takut amalnya tidak
diterima. Pernah suatu ketika ia ditanya,
"Apa
rahasia hidup tenang dan wajah yang selalu bersinar, wahai Abu Sa’id?"
Ia
menjawab,
"Karena
aku menyembunyikan amal baikku seperti kalian menyembunyikan dosa-dosa
kalian."
Kisah
Hasan Al-Bashri menggambarkan ṭūbā dalam bentuk ketenangan batin, kesungguhan
dalam ibadah, dan konsistensi dalam memberi nasihat kepada umat. Ia tidak
pernah mencari nama, tetapi nama baiknya dikenang ribuan tahun setelah wafat.
Inilah
ḥusnu ma’āb tempat kembali yang penuh
berkah, hasil dari iman yang dalam dan amal yang lurus.
Di zaman Artificial Intelligence, blockchain, dan teknologi quantum, tantangan terbesar umat bukanlah ketertinggalan informasi, tapi kehilangan arah spiritual. QS Ar-Ra’d: 29 memanggil kita untuk kembali kepada kesadaran bahwa hidup ini bukan soal kecepatan, tapi tentang ketepatan.
Maka, jangan bangga hanya karena viral. Jangan tenang hanya karena gaji besar. Jangan merasa cukup hanya karena followers banyak. Tanya dirimu: Apakah iman kita tumbuh? Apakah amal kita bertambah? Apakah kita telah berada di jalan ṭūbā?
Ya Allah, jadikanlah iman kami cahaya di hati dan amal kami jalan menuju ridha-Mu. Tumbuhkan dalam dada kami cinta kepada amal saleh, dan jauhkan dari tipu daya dunia yang menyesatkan. Karuniakan kami kebahagiaan yang bersumber dari-Mu, bukan dari dunia semata.
Mari kita bagikan ayat ini sebagai pengingat bahwa bahagia itu bukan ketika orang lain kagum, tapi ketika Allah ridha. Karena ṭūbā dan ḥusnu ma’āb hanya untuk mereka yang menjaga iman dan tidak lelah berbuat baik.
Wallāhu A‘lam.














