Penerimaan Piala

Penerimaan Piala Oleh Kamad dalam Rangka Hari kemerdekaan RI.

Jalan Santai

Jalan Santai Bersama Krue MIN 1 Jeneponto dalam Menperingati HAB kemenag yang ke-74.

Budaya Literasi

Literasi diluar Kelas dalam Rangka belajar sehari di luar kelas.

Poto Bersama

Poto Bersama Kamad pada hari Kesadaran Nasional.

Seragam Batik

Pemberian Seragam Batik Gratis Kepada Siswa.

Terimakasih Telah Berkunjung di Blog Kami, Semoga Bermanfaat

Senin, 14 Juli 2025

Kebahagian Hakiki


Beriman dan Berbuat Baik Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki, Mari Kuatkan Iman dan Selalu Berbuat Baik

Kebahagian Hakiki

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Dokumentasi: Halaqah Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi

Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan iman ke dalam hati hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, teladan sempurna dalam keimanan dan amal saleh.

 "ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَـَٔابٍ"

(QS. Ar-Ra’d: 29)

 "Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, berbahagialah mereka dan tempat kembali yang terbaik."

Dalam dunia yang terus berlari cepat, di mana standar kebahagiaan ditentukan oleh algoritma media sosial, QS Ar-Ra’d: 29 datang sebagai pengingat bahwa kebahagiaan hakiki tidak terletak pada pencapaian duniawi, melainkan pada iman dan amal saleh.

Ayat ini sangat sederhana secara redaksi, namun dalam secara makna. Allah tidak menyebut jenis amal tertentu, tidak membatasi bentuknya, tetapi mensyaratkan dua hal: iman dan amal saleh. Inilah pasangan abadi yang tak terpisahkan. Iman tanpa amal adalah janji tanpa bukti. Amal tanpa iman adalah kerja tanpa arah.

"طُوبَىٰ لَهُمْ" — Mereka akan mendapatkan kebahagiaan, kata Allah. Dalam tafsir Ibn Katsir, kata ṭūbā mencakup makna kegembiraan batin, keberkahan hidup, dan ketenangan jiwa. Tafsir Al-Qurthubi menyebutkan bahwa ṭūbā bisa bermakna pohon surga, bisa juga bermakna semua jenis keberuntungan. Artinya, kebahagiaan itu bukan sekadar senyuman yang tampak di wajah, tapi kedamaian yang tenang di dada.

Saat ini kita hidup dalam era kecemasan kolektif. Banyak orang sukses, tetapi gelisah. Banyak yang memiliki segalanya, tetapi merasa kosong. Karena lupa bahwa kebahagiaan bukan pada apa yang kita punya, tetapi pada siapa yang kita imani, dan bagaimana kita hidup.

QS Ar-Ra’d: 29 bukan sekadar janji tentang surga kelak, tapi juga solusi hidup hari ini. Mereka yang menghidupkan imannya dengan amal saleh akan diberi ḥusnu ma’āb  tempat kembali yang baik. Di dunia, ini berarti hidup yang penuh keberkahan. Di akhirat, ini berarti surga yang Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang tulus.

 

Kisah

Abu Darda RA adalah seorang sahabat Nabi yang awalnya seorang saudagar sukses di Madinah. Namun setelah masuk Islam dan mengenal Nabi secara dekat, ia tinggalkan urusan dunia dan memilih jalan ilmu serta amal saleh. Ia pernah berkata:

"Aku lebih suka memiliki ilmu yang bermanfaat daripada emas dan perak yang melimpah."

(Al-Hilyah: 1/215)

Ia dikenal sebagai sosok yang selalu mencari ketenangan melalui ibadah, tadabbur Al-Qur’an, dan menasihati kaum muslimin. Rumahnya kecil, pakaiannya sederhana, tapi hatinya luas. Ketika ada yang bertanya kenapa ia hidup dalam kesederhanaan, ia menjawab,

"Karena dunia ini hanya titipan yang akan berlalu, tapi amal saleh akan menetap bersama kita selamanya."

Abu Darda menunjukkan bahwa ṭūbā tidak selalu berarti kemewahan atau posisi. Ia hidup damai, disukai banyak sahabat, dan wafat dalam keadaan husnul khatimah. Ia adalah contoh bahwa iman yang konsisten dan amal yang ikhlas cukup menjamin tempat kembali yang terbaik.

 

Kisah

Sa’id bin Al-Musayyib adalah ulama besar dari kalangan tabi’in, dan dianggap sebagai pemimpin generasi Madinah pasca-wafatnya para sahabat. Salah satu kisah luar biasa dari hidupnya adalah bahwa ia selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram dalam salat berjamaah di masjid. Bukan hanya hadir, tapi takbir awal bersama imam. (Al-Dhahabi, Siyar A’lām al-Nubalā’, 4/221)

Ia berkata,

"Aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih menentramkan hati dan lebih membuatku bersyukur kepada Allah daripada istiqamah dalam salat berjamaah."

Meskipun ia hidup di zaman politik yang tidak stabil, dan godaan dunia mulai merebak, ia tetap berpegang teguh pada iman dan amal. Tidak pernah mencela orang lain, dan selalu bersikap lembut terhadap murid-muridnya. Dalam setiap waktu, ia menanam amal saleh kecil tapi konsisten — dan dari situlah ia menemukan kebahagiaan.

Sa’id bin Al-Musayyib adalah teladan QS Ar-Ra’d: 29 — bahwa kebahagiaan dan tempat kembali terbaik tidak ditentukan oleh kekuasaan atau popularitas, melainkan oleh kedekatan terus-menerus dengan Allah dalam setiap detik kehidupan.


 Kisah

Hasan Al-Bashri lahir di zaman sahabat dan tumbuh besar dalam asuhan para istri Nabi. Ia menyaksikan langsung perubahan masyarakat Islam dari kesalehan menjadi duniawi. Maka ia tampil sebagai suar spiritual di tengah gelapnya dunia politik. Dikenal karena ucapannya yang menggugah dan ibadahnya yang dalam. Ia berkata:

"Sesungguhnya ada kaum yang lebih menikmati tahajud di malam hari daripada orang yang menikmati dunia dengan segala isinya di siang hari."

Setiap hari ia menangis bukan karena kekurangan dunia, tapi karena takut amalnya tidak diterima. Pernah suatu ketika ia ditanya,

"Apa rahasia hidup tenang dan wajah yang selalu bersinar, wahai Abu Sa’id?"

Ia menjawab,

"Karena aku menyembunyikan amal baikku seperti kalian menyembunyikan dosa-dosa kalian."

Kisah Hasan Al-Bashri menggambarkan ṭūbā dalam bentuk ketenangan batin, kesungguhan dalam ibadah, dan konsistensi dalam memberi nasihat kepada umat. Ia tidak pernah mencari nama, tetapi nama baiknya dikenang ribuan tahun setelah wafat.

Inilah ḥusnu ma’āb  tempat kembali yang penuh berkah, hasil dari iman yang dalam dan amal yang lurus.

 Di zaman Artificial Intelligence, blockchain, dan teknologi quantum, tantangan terbesar umat bukanlah ketertinggalan informasi, tapi kehilangan arah spiritual. QS Ar-Ra’d: 29 memanggil kita untuk kembali kepada kesadaran bahwa hidup ini bukan soal kecepatan, tapi tentang ketepatan.

  Maka, jangan bangga hanya karena viral. Jangan tenang hanya karena gaji besar. Jangan merasa cukup hanya karena followers banyak. Tanya dirimu: Apakah iman kita tumbuh? Apakah amal kita bertambah? Apakah kita telah berada di jalan ṭūbā?

 Ya Allah, jadikanlah iman kami cahaya di hati dan amal kami jalan menuju ridha-Mu. Tumbuhkan dalam dada kami cinta kepada amal saleh, dan jauhkan dari tipu daya dunia yang menyesatkan. Karuniakan kami kebahagiaan yang bersumber dari-Mu, bukan dari dunia semata.

 Mari kita bagikan ayat ini sebagai pengingat bahwa bahagia itu bukan ketika orang lain kagum, tapi ketika Allah ridha. Karena ṭūbā dan ḥusnu ma’āb hanya untuk mereka yang menjaga iman dan tidak lelah berbuat baik.

 

Wallāhu A‘lam.


Sabtu, 12 Juli 2025

Semua Milik Allah

 


 Semua Milik Allah, Semua Hanya Titipan, Kita Hanya Singgah

 

Dokumentasi: Halaqah Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

 

Segala puji bagi Allah, Raja segala raja, Pemilik seluruh alam, tempat kita bergantung dalam suka dan duka. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, utusan yang menunjukkan bagaimana hidup sebagai hamba yang tunduk sepenuhnya kepada Sang Raja Semesta.


وَلِلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌ

(QS. Ali ‘Imran: 189)

"Dan hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

 

QS Ali ‘Imran: 189 bukan hanya kalimat pengakuan iman. Ini adalah tamparan lembut untuk siapa pun yang merasa memiliki, merasa berkuasa, merasa paling mengatur hidupnya sendiri.

 

“Dan hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi…”

 

Kalimat ini seharusnya membuat kita menunduk dalam-dalam.

Kita sering lupa, bahwa rumah yang kita bangun, harta yang kita simpan, jabatan yang kita pegang, bahkan tubuh yang kita kenakan hari-hari ini semua itu bukan milik kita.

Kita hanya penumpang, pengelola sementara, tamu yang akan dipanggil pulang.

 

Kisah Umar bin Abdul Aziz suatu hari menangis di atas sajadahnya. Ketika ditanya mengapa ia menangis, padahal baru saja diangkat sebagai khalifah, ia menjawab:

“Bagaimana mungkin aku tenang, jika aku tahu semua kekuasaan ini bukan milikku, dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Pemiliknya yang sebenarnya, Allah?”

Ia sadar, meskipun di mata manusia ia adalah raja, di hadapan Allah ia hanyalah hamba yang memikul amanah, bukan kemewahan.

 

Refleksi diri dari kisah ini mengapa kita sering lupa? Karena dunia ini membius.

Kita merasa kita yang mengatur waktu.

Kita merasa kita yang mengatur rezeki.

Kita merasa kita yang mengatur jalan hidup.

Padahal semua ada dalam genggaman Allah.

Anak-anak kita? Amanah dari-Nya.

Ilmu kita? Cahaya dari-Nya.

Bisnis kita? Titipan yang bisa hilang dalam sekejap.

Waktu hidup kita? Tidak satu detik pun bisa kita tambah sendiri.

Maka ayat ini hadir untuk menenangkan yang gelisah, dan mengguncang yang sombong.

Tenanglah, karena semua diatur oleh Allah yang Maha Kuasa.

Waspadalah, karena semua akan kembali kepada Allah yang Maha Menuntut Amanah.

 

Kisah Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:

“Aku melihat dunia seperti bayangan. Semakin kau kejar, ia menjauh. Tapi ketika kau menjauhinya, ia justru mengikuti.”

Lalu ia menutup nasihatnya dengan kalimat:

“Tidak ada milik sejati kecuali milik Allah. Maka jangan terlalu cinta pada sesuatu yang pasti akan direbut kembali oleh Pemiliknya.”

 

Kisah Nabi Sulaiman AS adalah seorang nabi yang diberikan kekuasaan luar biasa oleh Allah:

Kerajaan besar, kemampuan berbicara dengan binatang, angin yang tunduk padanya, jin yang bekerja atas perintahnya.

Namun, dalam setiap kemuliaan itu, beliau tidak pernah merasa memilikinya. Dalam doanya yang masyhur, beliau berkata:

"Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pemberi."

(QS. Shaad: 35)

Mengapa beliau meminta kerajaan yang unik? Bukan karena sombong, tapi karena beliau tahu kerajaan itu hanya bisa ditopang dengan izin dan pertolongan Allah.

Dan benar, Nabi Sulaiman tidak terikat oleh dunianya. Ia wafat dalam keadaan berdiri, bersandar pada tongkat, dan tidak ada satu makhluk pun yang tahu beliau sudah meninggal karena Allah menundukkan segalanya bahkan dalam wafatnya. Jadi kekuasaan Nabi Sulaiman tidak membuatnya lupa bahwa *semua yang ada padanya hanyalah titipan dari Allah yang bisa diambil kapan saja.

 

Kisah Rabi’ bin Khutsaim adalah seorang tabi’ut tabi’in yang dikenal sangat zuhud dan takut kepada Allah. Ia hidup di tengah kemewahan negeri Kufah, namun ia memilih hidup sederhana. Suatu hari seorang bangsawan datang dan berkata:

“Wahai Rabi’, engkau bisa hidup lebih baik dengan ilmumu. Mengapa engkau tidak memanfaatkan peluang untuk menjadi pemimpin atau hakim?” Rabi’ menjawab lembut:

“Apa gunanya menjadi pemimpin jika aku tidak bisa memimpin hatiku sendiri? Dunia ini bukan milikku. Ia milik Allah, dan aku hanya menumpang sebentar saja.” Dalam kesehariannya, Rabi’ bahkan sering menangis hanya dengan membaca ayat-ayat yang mengingatkan kekuasaan Allah. Ia takut tertipu oleh rasa “memiliki” sesuatu yang pada hakikatnya adalah milik Allah.  Jadi  Rabi’ mengajarkan kepada kita bahwa orang yang merasa cukup dengan Allah tidak akan tergoda mengejar dunia. Ia tahu, kekuasaan bukan kemuliaan, kecuali jika dijalani sebagai amanah.

 

Introspeksi diri:

Jika semua milik Allah, maka tak ada alasan untuk sombong.

Jika semua di tangan Allah, maka tak ada alasan untuk putus asa.

 

Ajarkan anak-anak kita untuk tidak berkata, “Ini punyaku,” tanpa menyebut, “In syaa Allah.”

Ajarkan diri kita untuk tidak merasa berhak atas apa pun, tanpa izin-Nya.

 

Dan saat musibah datang, ketika kehilangan, ketika sesuatu yang kita jaga diambil ingatlah ayat ini:

“Dan hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi…”

 

“Ya Allah, ajari kami untuk menjadi hamba, bukan penguasa.

Jangan biarkan kami lupa bahwa semua milik-Mu, bukan milik kami.

Jadikan kami ridha terhadap takdir-Mu, tenang dalam kehilangan, dan bersyukur dalam kelebihan.

Ya Allah, jika kami memiliki sesuatu, maka ajari kami untuk menjaganya dalam ketaatan.

Dan jika Kau ambil sesuatu, maka kuatkan kami dengan keyakinan bahwa Engkaulah pemilik sejatinya.”

Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang sadar bahwa Engkaulah Pemilik semua. Jangan biarkan kami terikat oleh dunia yang bukan milik kami. Karuniakanlah hati yang tenang dalam kehilangan, dan rendah hati dalam kelebihan. Aamiin.

 

Mari dalami sekali lagi bahwa QS Ali ‘Imran: 189 adalah pengingat yang mendalam, kepemilikan hanyalah ilusi, dan penguasa sejati hanya satu: Allah.

 

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Rabu, 09 Juli 2025

Allah Menyanyangi Bagaimanapun Keadaan Kita Bahkan Mengasihi Tanpa Sekat Tapi Kenapa Kita Sering Lupa Menyayangi Diri Sendiri

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Allah Menyanyangi Bagaimanapun Keadaan Kita Bahkan Mengasihi Tanpa Sekat Tapi Kenapa Kita Sering Lupa Menyayangi Diri Sendiri


Halaqah: Qasim Bin Abi Ayyub Al Asadi
Segala puji hanya bagi Allah, yang kasih sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya, dan yang pintu tobat-Nya selalu terbuka meski dunia makin larut dalam hiruk-pikuk dan ilusi layar digital. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad ﷺ, teladan terbaik dalam kembali kepada Allah di tengah tantangan zaman.


 "وَٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۦٓ ۚ إِنَّ رَبِّى رَحِيمٌۭ وَدُودٌۭ"

(QS. Hûd: 90)

 "Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih."

Ayat ini datang di tengah-tengah peringatan besar tentang umat-umat terdahulu yang binasa karena kesombongan dan kefasikan. Namun, QS Hûd: 90 tidak hanya berbicara tentang azab, tetapi justru menawarkan harapan: sebuah undangan tulus dari Allah untuk kembali, memohon ampun, dan bertobat, karena Dia adalah Rahîm (Penyayang) dan Wadûd (Penuh Cinta).

Dalam konteks Revolusi Industri 4.0, ketika kita hidup dalam arus informasi yang deras, teknologi yang serba cepat, dan keinginan yang tiada henti, ayat ini menjadi rem kehidupan. Kita sering kali merasa lebih terhubung dengan dunia maya ketimbang dengan Tuhan kita. Kita cepat menanggapi notifikasi ponsel, tetapi lalai menanggapi seruan Allah dalam hati kita. Maka, "Istighfar dan taubat" bukan sekadar ritual lisan, melainkan kesadaran untuk mengembalikan arah hidup dari yang serba ‘otomatis’ menjadi lebih bermakna.

Istighfar bukan hanya dimaknai sebagai meminta ampun atas dosa besar, tetapi juga sebagai kesadaran harian atas waktu yang tersia-siakan, pikiran yang tidak jernih, bahkan perhatian yang telah terlalu banyak tersedot ke layar, bukan kepada keluarga, ilmu, atau ibadah. Di sinilah pentingnya detoks digital ruhani: kembali menyadari bahwa Allah lebih tahu isi hati kita daripada algoritma apa pun yang kita konsumsi.

Ayat ini menunjukkan dua jalan beriringan: istighfar dan taubat. Istighfar membersihkan, taubat mengubah arah. Tanpa keduanya, manusia akan terus terjebak dalam siklus kesalahan, bahkan dengan dukungan teknologi tercanggih sekalipun. Maka, meskipun kita hidup di era kecerdasan buatan dan AI, jangan pernah lupakan bahwa hanya dengan kesadaran spiritual, hidup kita mendapatkan makna yang sejati.

 

Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Revolusi Diri

Di tengah kekuasaan dan teknologi administrasi pemerintahan yang semakin maju kala itu, Umar bin Abdul Aziz RA dikenal bukan karena sistemnya, tetapi karena taubatnya. Ia pernah menangis semalam suntuk ketika menyadari kekuasaan adalah amanah, bukan kehormatan. Ia menghapus praktik istana yang mewah dan mengembalikannya pada kesederhanaan karena sadar bahwa ampunan Allah lebih bernilai daripada pujian manusia.

 

Kisah Hasan Al-Bashri dan Kepekaan Hati

Hasan Al-Bashri, dari kalangan Tabi’in, dikenal karena ketajaman ruhiyahnya. Suatu hari beliau ditanya, “Mengapa kami telah banyak beristighfar tapi hidup kami tetap sempit?” Ia menjawab, “Karena istighfarnya hanya di lisan, bukan dari hati.” Di era kita, bisa jadi kita telah banyak mengklik konten keislaman, tapi sedikit menginternalisasi makna taubat.

 

Kisah Imam Syafi’i dan Cinta Ilmu yang Bersih dari Dosa

Imam Syafi’i berkata, “Ilmu tidak akan masuk ke hati yang kotor.” Ia menjaga dirinya dari dosa kecil karena ia tahu bahwa dosa kecil bisa menutupi cahaya ilmu. Dalam dunia pembelajaran digital hari ini, seringkali kita mengumpulkan materi tapi kehilangan hikmah karena hati kita lelah dan lalai. Maka kunci keberkahan belajar bukan hanya pada koneksi internet, tapi pada koneksi hati dengan Allah.

 

Kisah Rabi’ah Al-Adawiyah dan Cinta yang Membersihkan Diri

Rabi’ah dikenal dengan cintanya kepada Allah yang tidak berbatas. Ia berkata, “Aku beristighfar bukan karena takut neraka, tapi karena malu kepada-Nya atas kelalaianku mencintai-Nya.” Di zaman ini, mungkin kita perlu kembali bertanya: apakah taubat kita muncul karena takut hukuman, atau karena rindu kepada kasih sayang-Nya?

 

Refleksi untuk Keluarga dan Generasi Digital

Mari kita merenung bersama:

Apakah kita sudah benar-benar bertobat atau sekadar menunda-nunda karena kesibukan digital?

Apakah kita masih punya waktu hening untuk memohon ampun atau malah sibuk membuat konten tanpa makna?

Apakah kita masih percaya bahwa Allah itu Wadûd, atau sudah mulai merasa lebih terhubung dengan follower dan trending topic?

 

Di tengah kemajuan teknologi, kecerdasan spiritual adalah satu-satunya jalan untuk bertahan dari kehilangan arah. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah masih memberi kita ruang—taubat bukan tanda kekalahan, tetapi kebangkitan. Karena sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang dan Maha Pengasih.

 

Doa Penutup

Ya Allah, tuntunlah kami dalam derasnya arus dunia maya. Jadikan kami pribadi yang senantiasa bertaubat sebelum terlambat. Ampuni kesalahan kami dalam pikiran, tindakan, dan waktu yang kami lalaikan. Jadikan kami keluarga yang kembali kepada-Mu bukan karena terpaksa, tetapi karena cinta. Jangan biarkan kami terseret teknologi tapi lupa pada ilham dan petunjuk-Mu. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

 

Jika pesan ini mengetuk hati kita, sebarkanlah bukan sekadar dalam bentuk pesan berantai, tapi dalam praktik nyata dengan istighfar harian, taubat mingguan, dan niat bulanan untuk terus tumbuh menjadi hamba yang dicintai-Nya.

 

Wallāhu A‘lam.

Rabu, 18 Juni 2025

KKGMI HARUS EKSIS, TETAP EKSIS DAN TERUS EKSIS

Poto Bersama Pelaksanaan Raker KKGMI Kab. Jeneponto

Kelompok Kerja Guru Madrasah Ibtidaiyah (KKGMI) Kabupaten Jeneponto mengadakan raker. Kegiatan tersebut berlangsung dengan penuh  semangat, santai dan khidmat diawali dengan pembacaan ayat suci Al-qur'an, doa bersama dan dibuka secara resmi oleh Kasubbag TU Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jeneponto Hj. Salmah, S.Ag., M.Pd.I. 

Kegiatan raker ini turut dihadiri oleh Kasi Pendidikan Madrasah Hj. Rahmawati, S. Ag., MA., Ketua Pokjawas, para Pengawas Madrasah, KKM MI serta para pengurus KKGMI dari berbagai daerah di kabupaten Jeneponto.


Arahan Kasi Pendidikan Madrasah
Poto: Sambutan Kasi Pendidikan Madrasah

 Dalam arahannya Kasi Pendidikan Madrasah memberi pesan kepada semua peserta rapat agar senantiasa guru dapat mengembangkan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang wajib dimiliki guru, agar menunjang para guru untuk dapat mengajar dengan baik dan benar, tak lupa pula Kasi Pendidikan Madrasah menyampaikan pentingnya komptensi tambahan yang harus dimiliki oleh guru di era globalisasi dan digitalisasi yaitu kompetensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ITE) sehingga para guru tidak melek informasi di era digitalisasi saat ini. diakhir sambutannya Kasi Pendidikan Madrasah juga berpesan kepada semua pengurus KKGMI untuk dapat berperan aktif dalam setiap kegiatan KKGMI ke depannya.

 Rapat kerja ini berlangsung pada Rabu, 18 Juni 2025 di aula PLHUT Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jeneponto  mulai pukul 10:00 hingga pukul 15:30 WITA. Rapat kerja ini diakhiri dengan diskusi interaktif dan penyampaian gagasan dari ma­sing-masing perwakilan bidang program. Dengan penuh antu­siasme, para peserta rapat ber­harap agar program-pro­gram yang telah dirancang dapat membawa dampak nyata dalam peningkatkan mutu pendidikan di lingkungan madrasah masing-masing.


By: Parmin Suking




 

PARMIN SUKING